Hikmah Inspiratif Perjalanan Nabi Ibrohim As

 

Hikmah Inspiratif Perjalanan Nabi Ibrahim As

Perjalanan kisah Nabi Ibraim As sangatlah heroek, sehingga memancarkan begitu banyak hikmah yang dapat kita ambil dan teladani, salah satu kisahnya diabadikan di dalam al-Qur’an  (Q.s al-An’am [6]: 74-79). Yang mana dalam ayat-ayat tersebut menceritakan tentang perjalanan Nabi Ibrahim As dalam mencari kebenaran atau pencipta alam ini (Tuhan). Di dalam ayat-ayat ini Prof. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa di dalam tafsirannya tersebut ada dua hal besar yang bisa diambil pelajaran yaitu: pertama pembelajaran Nabi Ibrahim As dalam proses mencari Tuhan, kedua proses cara membuktikan kebenaran kepada kaumnya. Tentunya semuanya itu merupakan bimbingan Allah Swt terhadap Nabi Ibrahim As.[1]

Nabi Ibrahim As merupakan Abul Anbiya (bapaknya para Nabi), beliau juga memiliki banyak keistimewaan lainnya. Beliau lahir di Babilonia, suatu daerah di Irak. Kelahirannya bertepatan dengan kerajaan Namrud, yang mengaku bahwa dirinya merupakan Tuhan, dan di dalam kondisi masyarakat yang banyak menyembah berhala. Tak hanya berhala, kaum Nabi Ibrahim As juga menyembah bintang, bulan, ataupun matahari.

Diabadikan dalam al-Qur’an Nabi Ibrahim As berdialog dengan pamannya.“Wahai pamanku,” kata Nabi Ibrahim As kepada pamannya, Azar, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat al-An’am  ayat 74. “Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai Tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.”

Tentu saja sang paman tak menuruti nasehat keponakannya yang diungkap dalam bentuk pertanyaan ini. Malah, dalam ayat lain di al-Qur’an disebutkan betapa marahnya Azar ketika Ibrahim As meminta ia tidak lagi menyembah berhala-berhala itu. Azar berkata, “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam.” (QS: Maryam [19]: 46).

Lalu, secara halus Nabi Ibrahim As mengajak pamannya dan kaumnya untuk berfikir dengan melihat benda-benda langit yang selama ini mereka ibadahi. Benda langit pertama yang ia saksikan ketika malam telah gelap adalah bintang. Nabi Ibrahim As berkata, “Inilah Tuhanku.” Bintang itu kemudian tenggelam dan tidak lagi terlihat. Nabi Ibrahim As berseru,  “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” (QS: Al An’am [6]: 76).

Lalu suatu ketika Nabi Ibrahim As melihat bulan muncul di langit yang hitam. Dia berkata lagi, “Inilah Tuhanku.” Lama kelamaan bulan itu juga terbenam. Nabi Ibrahim as kembali berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (QS: Al An’am [6]:77).

Setelah itu terbitlah matahari. Kembali Nabi Ibrahim As berkata, “Inilah Tuhanku. Ini lebih besar”. Menjelang senja, matahari perlahan-lahan terbenam di ufuk barat. Melihat fenomena ini, Nabi Ibrahim As menasehati kaumnya, “Wahai kaumku. Sungguh aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan. Kemudian Nabi Ibrahim As pun menyataan kepada kaumnya akan Tuhannya yang disembah, sebagaimana firman Allah Swt “Sesungguhnya aku menghadap wajahku kepada Yang menciptakan langit dan bumi hanifan (jalan yang lurus) dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mepersekutukan Tuhan”. (QS: Al An’am [6]:78-79).

Begitulah kisah Nabi Ibrahim As yang diabadikan dalam al-Qur’an. Ia mengajak kaumnya untuk berfikir bahwa benda yang selama ini mereka sembah tidaklah pantas untuk dijadikan Tuhan. Tidaklah mungkin Tuhan berubah-ubah, kadang ada, kadang tiada, Tuhan itu tidak butuh ruang dan waktu, makhluknyalah yang membutuhkannya. Kaumnya –bahkan pamanyanya sendiri– jelas tidak bisa membantah logika yang diperlihatkan Nabi Ibrahim As.

Demikian pula kita. Jika kita merenungi alam semesta ini, mengamati fenomena-fenomena yang begitu rumit namun teratur, maka akal kita akan membenarkan bahwa semua ini pastilah ada yang menciptakannya sekaligus mengaturnya. Tak mungkin ia ada dengan sendirinya. Tak mungkin ia bergerak atau berproses dengan sendirinya.

Ada cukup banyak ayat dalam al-Qur’an yang meminta kepada manusia untuk memperhatikan alam sekitar agar kita benar-benar yakin kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah Swt. Dalam surat Yunus ayat 101, misalnya, Allah Swt berfirman, “Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan di bumi.”  Demikian pula pada surat al-A’raf ayat 185, Allah Swt berfirman, “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi?.”

Namun, setelah kita memperhatikan fenomena alam semesta, apakah hati kita otomatis menjadi yakin? Belum tentu! Akal kita memang membenarkan, namun hati kita boleh jadi belum sepenuhnya mengimani. Jika hanya karena itu lantas hati kita akan langsung mengimaninya, maka mengapa masih banyak orang-orang yang ingkar kepada Allah Swt meskipun ia telah bersyahadat? Mengapa masih banyak orang yang tak takut dengan azab neraka dan tak tergiur dengan nikmatnya surga meskipun penjelasan tentang itu telah sampai kepada mereka? Jawabnya, karena mereka belum betul-betul mengimaninya.

Di dalam surat al-An’am ayat 75, Allah Swt ingin menjelaskan, bahwa hikmah daripada perjalanan Nabi Ibrahim As ialah, agar Nabi Ibrahim As menjadi orang yang yakin, sebagaimana firmanNya “Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim malakut (kekuasaan kami) dilangit dan bumi, dan agar dia termasuk al-Muqinin (golongan orang yang yakin).”

Prof. Quraish Shihab di dalam karyanya Tafsir Al-Mishbah Ketika menafsirkan kata “al-Muqinin/orang-orang yang yakin ” menjelaskan, bahwa keyakinan itu bertingkat yaitu: ‘Ilm al-Yaqin, ‘Ain al-Yaqin, kemudian Haqq al-Yakin.[2] Pertama ‘Ilm al-Yaqin, yang mana ini merupakan tahap awal tatkala seseorang yakin akan sesuatu. Sebagai contoh yaitu, tatkala kita meyakinkan bahwa di dunia ini ada sebuah daerah yang bernama Mekkah, namun dengan begitu kita meyakini akan eksitensi daerah tersebut, walaupun kita belum pernah berkunjung. Selanjutnya ‘Ain al-Yaqin, sebagai contoh tatkala seseorang pernah ke Mekkah, maka status keyakinannya akan naik, sebab dia sudah sangat yakin akan eksitensi daerah tersebut dengan melihat dengan langsung. Kemudian Haqq al-Yaqin, sebagai contoh yaitu tatkala seseorang tak hanya meyakini dengan sebatas pengheliatannya saja, namun lebih jauh dari itu, yaitu tatkala seseorang mengatahui seluk beluk daerah tersebut. Dengan demikian keyakinannya sudah pada puncaknya, sehingga seseorang memiliki argumentasi yang kuat dengan keimanan yang kokoh berakar di dalam hati. Hal ini sebagaimana terjadi kepada Nabi Ibrahim As yang diabadikan di dalam al-Quran (Q.s al-Baqarah [2]: 260). Prof. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa ketika itu Nabi Ibrahim As berada dalam posisi keimanan ‘Ilm al-Yaqin, sebab Nabi Ibrahim As meminta kepada Allah Swt akan kewujudannya sebagai Tuhan semesta alam, semata-mata hal itu dilakukan agar semakin yakin, sehingga puncaknya yaitu ketika Allah Swt menjadikan Nabi Ibrahim As mencapai keimanan Haqq al-Yaqin (Q.s al-An’am [6]: 75).

Menurut Raghib (ahli bahasa) yang dikutip oleh Buya Hamka dalam karyanya Tafsir al-Azhar menjelaskan, makna kata “Yakin” ialah "Faham yang telah mencapai ketenangan dan hukum yang telah mencapai ketetapan. Dan yakin itu adalah salah satu daripada sifat ilmu, di atas dari makrifat dan Dirayat." Buya Hamka melanjutkan dengan berkata, dengan demikian maka Nabi lbrahim As telah sampai kepada taraf terkumpulnya diantara dua ilmu, yaitu ilmu yang didapat karena berfikir dengan Ilmu Ladunni[3], yaitu yang langsung diterima dari Allah Swt. [4]

Buya Hamka juga mengatakan, kalau menurut pelajaran ahli Tasawuf bahwa Nabi Ibrahim As telah memandang kepada Kerajaan Langit dengan penuh kemauan. Lalu oleh karena kekerasan iradatnya (keinginannya) itu, meninggilah nazhar fikirannya, membubung tinggi. Sesampai fikiran itu pada batas yang dapat dicapainya, datanglah ilmu Allah Swt yang Ladunni menjemput dia dan menarik tangannya naik dan pada waktu itu sampailah dia kepada martabat Muraad (yang diinginkan), dan dituangilah dia dengan ilmu Ladunni yang langsung dari Allah Swt.[5]

Di dalam surat al-An’am ayat 79 diatas, Prof. Quraish Shihab di dalam karyanya Tafsir Al-Mishbah juga menjelaskan, bahwa kata “Wajjahtu” menunjukkan akan  penyembahan yang totalitas kepada Tuhan semesta alam,[6] dengan waktu, tempat, harta, serta jiwa dan raga segalannya semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt. Dengan demikian Nabi Ibrahim As telah mencapai maqom atau kedudukan ihsan dan puncak ketakwaan.

Di dalam menjelaskan surat al-An’am ayat 74, penulis menukil perkataan Asy-Sya’rawi di dalam Tafsir al-Mishbah karya Prof. Quraish Shihab yang mengatakan, setelah membuktikan bahwa kata “ab” dalam ayat tersebut, beliau menyimpulkan bahwa sebenarnya kata tersebut bermakna selain ayah kandungnya. Beliau menyebutkan alasannya yaitu, sebab kata “ab” disandarkan dengan suatu nama “Azar”. Prof. Quraish Shihab juga menjelaskan di dalam karyanya tersebut, bahwa ucapan Nabi Ibrahim As yang diabadikan ayat diatas kelihatannya cukup tegas, bahkan agak kasar lebih-lebih kalau kata Azar dipahami dalam arti makian atau bermakna pendurhaka sebagaimana yang dipahami oleh sementara Ulama. Perhatikan juga bagaimana beliau menyatakan bahwa orangtua dan kaumnya dalam kesesatan yang nyata. Ini dapat dijadikan juga sebagai indikator bahwa mitra bicara beliau disini bukan ayah kandungnya. Bukanlah al-Qur’an memerintahkan untuk tetap hormat dan berbuat baik kepada ibu bapak walaupunu dia musyrik (Q.s. Luqman [31]: 15). Sementara Ulama berpendapat bahwa ayat al-An’am ini adalah ucapan Nabi Ibrahim As setelah berkali-kali beliau menyampaikan kepada pamanya  kesesatan mempersekutukan Allah Swt. Mustahil rasanya beliau langsung mengecam dan memaki. Pada awalnya, peringatan beliau sangat halus. Perhatikan redaksi ucapan beliau yang diabadikan al-Qur’an (Q.s . Maryam [19]: 42-45).[7] Yang redaksinya juga memakai kata “ya abati” yang menunjukjan kehalusan berbicara kepada orangtua, bahkan diapun berdo’a kepada Allah Swt untuk pamannya tersebut.

Kesimpulan yang dapat kita bisa ambil daripada ibroh atau pelajaran daripada penjelasan diatas, pertama yaitu, dalam konteks mengenal Allah Swt, selain ilmu yang dipelajari kita diperintahkan untuk senantiasa juga memperhatikan ciptaanya, serta usaha dalam taqorrub kepada Allah Swt, dengan demikian kita akan semakin yakin sehingga mencapai maqom ihsan. Oleh sebab itu, di dalam al-Qur’an banyak diulang kata “afalaa ta’qilun/afalaa tadzakkarun.” Kedua yaitu, berbicara baik kepada orangtua walaupun ada keseteruan atau perbedaan pendapat, namun sejatinya kita tetap harus senantiasa berbuat baik kepada mereka (Q.s Luqman [31]: 15). Ketiga yaitu, senantiasa menaikkan kualitas keimanan. Kelima yaitu, bahwa dalam berdakwah perlu memiliki retorika dan strategi yang baik, sebagaimana cara Nabi Ibrahim As yang bergumen dengan cara yang cerdas kepada kaumnya tersebut, sehingga pernyataanya berhikmah dan tidaklah bisa dibantahkan, dengan demikian Mad’u (yang didakwahi) pun dapat menerima dakwah dari Sang Da’i (pendakwah), walaupun sumber hidayah ialah dari Allah Swt, sebagaimana firmannya:

اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (Q.s. al-Qashash [28]: 56).

Demikianlah untaian hikmah yang bisa penulis sampaikan. Hanya Allah Swt yang mampu membolak-balikkan hati manusia. Dia memberikan hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia pula yang menutup hati orang yang Dia kehendaki. Kita hanya bisa berdoa agar Allah Swt menetapkan kita dalam iman dan Islam, serta memberi hidayah kepada orang-orang yang kita sayangi, sebagaimana Nabi Ibrahim As juga berdoa untuk pamannya.

Dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim As berkata kepada ayahnya, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu. Aku akan memintakan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS: Maryam [19]: 47). Namun, Allah Swt tidak berkehendak atas doa Nabi Ibrahim As, Sang Paman tetap musyrik hingga akhir hayatnya. Begitu pun kaumnya, tetap ingkar meskipun kebenaran telah nyata ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim As.

Semoga kita diberikan petunjuk oleh Allah Swt, sehingga dimudahkan dalam melakukan segala kebaikan dan menjadi orang yang bertaqwa yang senantiasa diridhoinya. Aamiiin. Wallahu ‘Alam Bis Showab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[2] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Tanggerang: Lentera Hati, 2021), volume. 3, hal. 511.

[3] Laduni adalah ilmu yang diperoleh sebagai hasil dari pengalaman kerohanian secara pribadi. Ilmu ini berasal dari Allah. Para malaikat-Nya pun berkata: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami." (Al-Baqarah: 32). Ilmu laduni dalam pengertian umum ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, ilmu yang didapat tanpa melalui tahapan belajar. Kedua, ilmu yang didapat melalui usaha belajar.

[4] HAMKA, Tafsir Al-Azhar, (Pustaka Nasional PTE LTD Singapura: Jilid 3), hal. 2082.

[5] Ibid, hal. 2082-2083.

[6] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Tanggerang: Lentera Hati, 2021), volume. 3, hal. 516.

[7] Ibid, hal. 507-508.

Posting Komentar

0 Komentar